BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar belakang
Reformasi adalah
perubahan
Sejak dikumandangkan bulan Mei 1998, reformasi di segala bidang tengah
digalakkan oleh Bangsa kita dengan semangat untuk menegakkan demokrasi. Tapi
apa yang bisa kita rasakan dan kita lihat dari hasil reformasi ini? Reformasi
yang telah berjalan dua belas tahun ini semula bertujuan menegakkan demokrasi
dan HAM, kini kita lihat hasilnya.
Reformasi yang dapat memperbaiki nasib bangsa dan mengangkat harkat martabat bangsa.
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi
lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang
mendorong lahirnya gerakan reformasi.
1.2 Maksud dan
tujuan
Adapun maksud dan tujuan saya dalam pembuatan makalah ini, adalah agar
kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Reformasi dan bagaimana
prosesnya sehingga dapat mempengaruhi perjalanan bangsa ini
1.3 Ruang lingkup
masalah
Adapun ruang lingkup permasalahan yang dibahas pada makalah kali ini
adalah sebagai berikut.
a. Hakikat Reformasi
b. Bentuk Reformasi
c. Sebab munculnya Reformasi
BAB II
Pembahasan
2.1 Hakikat
Reformasi
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi
lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis
politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktor-faktor yang mendorong
lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu
indikator yang menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai gerakan yang
tidak boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan tersebut. Dengan semangat reformasi, rakyat
Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah
awal. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Semua itu merupakan jalan menuju
terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Rakyat tidak
mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin nasional, yang penting kehidupan yang
adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup
pangan, sandang, dan papan). Namun demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar
orang yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli terhadap
kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.
2.2 Bentuk
Reformasi
Reformasi di bagi
dalam 3 bentuk :
Reformasi Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pada
tataran normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter
menuju aturan demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus
menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas
politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan
kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif
dari identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus
melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan
penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada
konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan
reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah
banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan
(amandemen).
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang
dinilai sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan
dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi
kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan
perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin dibahas pada tulisan ini.
Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural terbersit harapan adanya
repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat
oleh Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di
era reformasi, negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat
untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap
negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat merasakan reformasi
prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital,
rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini
reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan
rakyat politik kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat
tani dan buruh) hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di
eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.
Reformasi Struktural, adalah tuntutan perubahan institusional negara
dari birokratik menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang
hirarkis, sentralistik dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang
responsif, penegak keadilan, transparantif, dan demokratis yang menegakkan
istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini.
Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia
telah masuk pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra struktural
yang memiliki fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan
langsung dengan masyarakat atau pihak selain instansi pemerintah (lapis
primary), biasanya anggota terdiri dari masyarakat atau profesional dan
kedudukan sekretariat tidak menempel dengan instansi pemerintah konvensional.
Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non struktural berjumlah
12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum
Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non struktural tersebut memiliki
kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi
dengan aparat atau institusi terkait, melakukan pemeriksaan (investigasi),
mengajukan pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama
dengan perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan
mengawasi sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin
dan insidentil, Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota. Pada umumnya,
komisi-komisi tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan
membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki
proses kerja lembaga negara, Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran
birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) yaitu
birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola
pikir, cara pandang, dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala
perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata
kunci untuk mewujudkan agenda reformasi prosedural dan struktural yang
dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan
struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan
sebuah komputer, reformasi prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi
kultural adalah sofwernya. Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer
yang baik.
2.3 Sebab Munculnya
Reformasi
Sebab-sebab
Lahirnya Reformasi adalah sebagai berikut :
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor
atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi.
Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang
mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun,
ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melak-sanakan cita-cita orde baru.
Pada awal kelahirannya tahun 1966, orde baru bertekad untuk menata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Orde baru adalah
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun dalam
pelaksanaannya, pemerintahan orde baru banyak melakukan penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang
sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan
legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu telah
melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan
reformasi, seperti:
Krisis politik
Krisis politik yang
terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan
pemerintahan orde baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan
demokrasi Pancasila. Namun yang sebe-narnya terjadi adalah dalam rangka
mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang
semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan
demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang
berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pemerintahan orde
baru selalu melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika
Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai
ketua partai, sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua
PDI. Keja-dian itu mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas.
Namun, pemerintahan orde baru yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa
tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka
memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun
sebelumnya.Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru
sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal
2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Namun dalam kenyataannya,
kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu. Anggota MPR sudah diatur
dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan
ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat dekat para pejabat
negara. Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masya-rakat
terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang
menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan
didukung oleh para dosen maupun kaum cendekia-wan. Mereka menuntut agar segera
dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidang Istimewa
MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut
untuk mela-kukan reformasi total dalam segala bidang kehidupan, termasuk
keang-gotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN. Di samping itu, gerakan
reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan terhadap lima paket
undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan. Keadaan
partai-partai politik dan Golkar dianggap tidak mampu menampung dan
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pembangunan nasional selama pemerintahan
orde baru dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangun-an nasional telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.
Krisis politik
semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI
pimpinan Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI
pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan yang membawa korban,
baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada dasarnya,
peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun
pemerintahan orde baru.
Pada masa orde
baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis.
Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
Setiap orang atau
kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
Pelaksanaan Lima
Paket UU Politik yang melahirkan
demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
Terjadinya korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.
Pelaksanaan Dwi
Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Terciptanya masa
kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan
tidak demokratis.
Ciri-ciri itulah
yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.
Sepanjang tahun
1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat.
Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo
(Jatim), Desember 1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas
ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai
menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik antar etnik dan agama.
Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke
seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa
yang tidak sedikit jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya
gerakan reformasi.
Kekecewaan rakyat
semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan Suharto
sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan
Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil
Presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa
ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan
negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan MPR yang
lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme.
Kekecewaan
masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto
melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin
marah ketika bebe-rapa aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan
reformasi tidak dapat dibendung dan dipandang sebagai satu-satunya jawaban
untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa
yang dibangun pemerintahan orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan
harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk
melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat
pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24
UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman me-miliki kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)'.
Sejak munculnya
gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi
salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum
agar setiap persoalan dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional.
Terjadinya ke-tidakadilan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya disebabkan
oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum
dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah
satu pilar terwujudnya kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana
untuk mengadili seseorang sesuai dengan kesalahannya.
Krisis ekonomi
Krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi
krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1
Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo
per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan,
pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik
terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.
Melemahnya nilai
tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan iklim
bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan
dan beberapa bank harus dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu
bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).
Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat mem-berikan hasil karena pinjaman
bank-bank bermasalah justru semakin besar.
Keadaan di atas
mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di
samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun
dan gairah investasi pun semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia
mem-buat kebijakan uang ketat dan bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan
dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap tidak dapat diatasi.
Banyak perusahaan
yang tidak mampu membayar hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh
tempo. Oleh karena itu, beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan
sebagian lagi harus menghentikan kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan
hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran pun terus
meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan ekonomi yang
telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi.
Kondisi
perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat
persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya,
harga-harga sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan kelaparan melanda
beberap wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua), Nusa Tenggara Timur,
dan beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, peme-rintah
meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana
dari IMF belum dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah
menandatangani 50 butir kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15
Januari 1998.
Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
Hutang Luar Negeri
Indonesia.
Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi.
Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar
pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan
Februari 1998, sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan
Ketahanan Ekonomi yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang
Indonesia telah mencapai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta
menca-pai 73,962 dollar Amerika Serikat.
Pelaksanaan Pasal
33 UUD 1945.
Pemerintah orde
baru ingin men-jadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak
sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia
merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat
rendah (rata-rata). Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri
merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk
bekerja di sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan orde
baru karena tidak dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan
kon-sekuen.
Pemerintahan
Sentralistik.
Pemerintahan orde
baru sangat sentral-istik sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari
Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan
peme-rintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya,
dalam bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga
peme-rintah daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya. Akibatnya, terjadilah
ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia
dalam menga-tasi krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan
kontribusi yang memadai.
Krisis sosial
Krisis politik,
hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan
politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik
politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada
meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan hukum yang
berkeadilan sering menim-bulkan ketidakpuasan yang mengarah pada terjadinya
demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekono-mian
Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran,
persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya
beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.
Krisis sosial dapat
terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga
masyarakat tidak mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan
para cende-kiawan dengan kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Untuk itu, salah satu jalan yang sering ditempuh adalah melakukan demonstrasi
secara besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah mendorong para buruh,
petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu
merupakan sumber krisis sosial.
Demonstrasi-demonstrasi
yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di perkotaan diliputi kecemasan,
rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah
mendorong sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke
luar negeri dengan alasan keamanan.
Krisis kepercayaan
Krisis
multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah
dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum
dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan. Demonstrasi bertambah gencar
dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi
mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta.
Aksi mahasiswa yang berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan,
setelah tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana,
Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan para mahasiswa
yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlah, setelah
bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.
Pada waktu tragedi
Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.
Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden
Suharto kembali ke Tanah Air dan masyarakat menuntut agar Presiden Suharto
mengundurkan diri. Bahkan, beberapa kawan terdekatnya men-desak agar Presiden
Suharto segera mengundurkan diri. Dengan demi-kian, tuntutan pengunduran diri
itu tidak hanya datang dari para maha-siswa dan para oposisi politiknya.
Kunjungan para
mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para
pimpinan DPR/MPR telah berubah menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih
memilih tetap tinggal di gedung wakil rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi
total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan mahasiswa tersebut mendapat tanggap-an
dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan
DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun,
himbauan pimpinan DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap
sebagai pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh karena itu, ketidakjelasan
sikap elite politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk
berdatangan ke gedung DPR/MPR.
Untuk menyikapi
perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian, Presiden
Suharto mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, perombakan Kabinet
Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu, dan tidak bersedia dicalonkan
kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut tidak dapat dilaksanakan karena
sebagian besar orang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi dan seorang
menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu merupakan bukti bahwa
Presiden Suharto telah menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para mahasiswa,
aktivis LSM, pihak oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat,
maupun dari kawan-kawan terdekatnya.
Akhirnya, pada
tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri (berhenti)
sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden. Pada saat
itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung
sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.
Agenda reformasi
yang disuarakan para mahasiswa mencangkup beberapa tuntutan, seperti :
1.
Adili suharto dan
kroni – kroninya,
2.
Laksanakan
amandemen UUD 1945
3.
Penghapusan dwi
fungsi ABRI
4.
Pelaksanaan otonomi
daerah yang seluas – luasnya
5.
Tegakan supremasi
hukum
6.
Ciptakan
pemerintahan yang bersih dari KKN
Agar agenda
reformasi dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik, maka perlu disusun
strategi yang tepat, seperti:
1.
Menetapkan prioritas,
yaitu menentukan aspek mana yang harus direformasi lebih dahulu dan aspek mana
yang direformasi kemudian.
2.
Melaksanakan
kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai tujuan dan sasaran secara
tepat.
3.
Reformasi yang
tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari
norma-norma hukum. Reformasi semacam ini akan mengalami kegagalan. Dengan
demikian, cita-cita untuk mem-perbaiki kehidupan masyarakat Indonesia tidak
akan berhasil.
4.
Solusi kembali pada
kebesaran negeri ini pasca reformasi
Untuk menumbuhkan
pohon bangsa yang subur dan berbuah serta tidak berhama, kita harus mengkaji,
menganalisa dan memperbaiki dari akar pohon tersebut sebagai penyebab berdiri
dan runtuhnya pohon tersebut.
Tiga peranan dalam
penyelesaian pohon bangsa yang akan menjadikan bangsa ini besar dan berkarisma
adalah kesadaran serentak dan bersama-sama antara pohon legislatif, dahan dan
ranting eksekutif serta daun dan kembang masyarakat berbangsa untuk merubah
sikap dan memperbaiki fungsi dan peran di pohon bangsa ini.
Fungsi pohon
legislatif (DPR-MPR)
Untuk penyelesaian
dan perbaikan bangsa adalah bagaimana peran legislatif untuk merubah hukum
produk luar digantikan menjadi hukum nurani kita yang bersumber pada kehidupan
madani tatatentrem kertoraharjo, silih asah silih asih silih asuh dimana hukum
kita mestinya hanya bersumber pada teguran dan pembinaan di bawah pengawasan
perwakilan sesuai idiologi bangsa ini dan tidak menghukumi yang sifatnya
memenjarakan, dimana status manusia, kita samakan dengan fungsi hukuman
terhadap binatang, dimana manusia bangsa ini direndahkan oleh aturan bangsanya
sendiri.
Fungsi dahan dan
ranting pohon eksekutif (pemerintahan)
Dalam penegakan
wibawa dan pengayoman mengurus dan menata kehidupan berbangsa, saya sarankan
pemerintah mengadakan upacara ritual untuk menyampaikan penghormatan, pengakuan
dan rasa terima kasih kepada seluruh unsur yang mendorong menjadikannya Negara
ini berdiri dan diakui oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini perlu dilakukan agar
seluruh komponen pemerintahan tidak terkutuk dan kena imbas nasib para pendorong
pendiri negara ini. Dimana saya melihat nasib seluruh pimpinan Negara dan
jajarannya dari yang terdahulu sampai saat ini seperti mengalami nasib serupa,
dimana setelah berkarya besar di dalam peran kepemimpinannya diakhiri oleh
nasib yang dicampakkan, ibarat habis manis sepah dibuang. Dimana hal ini
menunjukan citra pemerintahan Negara ini kurang baik atas hal itu. Insya Alloh
apabila norma penghargaan tersebut telah dijalankan, akan lahir dan terlihat
pemerintahan yang baik dan direstui, yang sepatutnya setiap orang yang telah
berperan dipemerintahan mendapat penghargaan dan penghormatan yang layak.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi
lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan.
3.2 Saran
Sebaiknya sebagai warga negara
yang baik setidaknya kita bisa menerapkan perubahan sederhana guna membuat
“reformasi” kecil dalam kehidupan seperti menaati hukum/peraturan yang berlaku.
Menjawab
pertanyaan dalam bentuk Tulisan Bebas
1.
Apa arti dan
makna reformasi yang diharapkan?
Reformasi adalah era baru dari perjalanan bangsa Indonesia, sebuah
jalan menuju cita-cita awal pejuang 45 yang terangkum dalam Pancasila dan UUD
1945. Kehadiran era ini, muncul dari keresahan masyarakat atas
penyimpangan-penyimpangan yang mencedari tujuan awal terbentuknya NKRI. Sebuah
keniscayaan dari keinginan luhur untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang berdaulat,
adil dan makmur.
Gerakan mahasiswa yang menumbangkan rezim Suharto tidak lahir
begitu saja, ia hanya puncak dari kekesalan yang setiap hari terus berkembang
biak. Hingga pada akhirnya muncullah gerakan besar yang dapat meruhtuhkan
kekuasaan Suharto, di mana sebelumnya ia ditakuti oleh masyarakat, karena
setiap ada aksi protes atas kebijakannya langsung ditangkap dan kadang tak
urung kembali pada keluarganya.
2.
Apa yang harus
kita perbuat dalam membangun bangsa dan Negara menuju tujuan nasional?
Untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia, kita harus mampu
menumbuhkan rasa kebangsaan dan menumbuhkan paham kebangsaan atau nasionalisme
yaitu cita – cita atau pemikiran –pemikiran bangsa dengan karakteristik yang
berbeda dengan bangsa lain (jati diri). Paham kebangsaan Indonesia ialah
Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup, faslafah hidup bangsa, kemudian
menjadi dasar negara dan sekaligus ideologi negara. Rasa kebangsaan dan paham
kebangsaan melahirkan semangat kebangsaan yaitu semangat untuk mempertahankan
eksistensi bangsa dan semangat untuk menjungjung tinggi martabat bangsa.
3.
Dalam
mengeluarkan pendapat apakah batas-batas yang harus dijaga, supaya tidak
mengganggu stabilitas nasional ?
Dalam hukum Internasional, kebebasan mengemukakan pendapat di muka
umum, dibutuhkan tiga batasan, yakni :
1.
Sesuai dengan
hukum yang berlaku
2.
Punya tujuan
baik yang diakui masyarakat
3.
Keberhasilan
dan suatu tujuan sangat diperlukan
4.
Faktor
sosiologis kultural dan struktural merupakan penghambat penting dalam integrasi
nasional di masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia. Sebenarnya kondisi
itu bukannya tidak dipahami oleh para pemimpin Indonesia. Mereka sebenarnya
telah memberikan perhatian terhadap upaya menjembatani kesenjangan multidimensi
yang terjadi di masyarakat. Di antaranya dengan mengakomodasi aspirasi
masing-masing kelompok yang berbeda ini, terutama di daerah yang memiliki
potensi mengalami disintegrasi seperti Papua dan Aceh, dengan memberi otonomi
khusus.
4.
Factor-faktor
apakah yang mendorong terjadinya gejolak seperti sekarang ini?
Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang
telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami
perubahan yang cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri
eksistensi rezim Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan
perubahan-perubahan tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak
untuk memajukan (kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh
para founding fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem pemerintahan.
Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami dinamika dan
perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi pemerintahan
itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan sistem republik
federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak asing untuk
menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia memberlakukan sistem
politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer. Sistem ini terbukti
juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan pertentangan antarfaksi di
parlemen.
Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi marhaen,
PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi sosial-komunis, dan
Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan tersebut semakin
diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan diri sebagai
dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin dengan
jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45,
Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom)
berkuasa sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.
Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang ketat di
satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi, tindakan
Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan
Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Doktrin
P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus mengalami
perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang menolak.
PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan akhirnya
menjadi organisasi bawah tanah.
Penangkapan aktivis terjadi di mana-mana, mulai dari Tanjung Priok
sampai Talangsari Lampung. AM Fatwa, Wakil Ketua MPR-RI sekarang adalah satu
dari aktivis yang ditangkap akibat sikap represif aparat orde baru. Dalam
audiensi pimpinan MPR-RI dengan mahasiswa
5.
Bagaimana
pendapat anda kebebasan berbicara yang terjadi
akhir – akhir ini dari sudut pandang etika dan bagaimana semsetinya ?
Sepertinya kebebasan berbicara saat ini sudah mulai menyimpang dari
sikap kesopanan, hal inisangat disayangkan karena bangsa Indonesia dikenal
sebagai orang yang ramah dan memiliki sikap sopan santun yang sangat baik
Orang saat ini sepertinya suadah tidak memiliki rasa malu dalam
berbicara, mereka bebas berbica dengan dengan kata kata yag tentu sangat tidak
baik didepan umum hal ini didasari dengan berkurangnya rasa mau dan sikap sopan
santun karena sudah hidup dalam dunia yang bebas
Semua ini dapat dicegah dengan meningkatkan kegiatan kegiatan yang
positif agar dapat memajukan bangsa dengan kegiatan kegiatan tersebut
dantentunya kalau orang sudah mengikuti kegiatan kegiatan yangpositi pikiran
merka pun pasti akan terbawa kedalamkegiatan yang positif pula.